
Di beberapa belahan dunia, menyerupai di CAR dan Rohingya, umat Islam sedang mengalami bencana kemanusiaan. Bukan hanya mereka yang menjadi korban secara pribadi dan berada dalam kondisi tak berdaya, namun dunia Islam pada umumnya tidak dapat berbuat banyak atas bencana tersebut. Memang secara global, umat Islam sedang berada dalam kondisi inferior. Di negara-negara yang Muslim secara kuantitas merupakan dominan pun, mereka minoritas secara peran, terutama politik.
Kondisi lemah menyerupai ini pernah dialami Rasulullah dan kaum Muslimin ketika berada pada fase Makiyah. Ketika kaum Muslimin tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi tekanan berat yang menimpanya, solusi alternatif yang diambil di antaranya ialah mencari tunjangan kepada pihak lain yang akomodatif terhadap Islam. Sebagian kaum Muslimin berhijrah ke negeri Habsyi, sedang sebagian yang lain memanfaatkan kiprah petinggi Qurays yang relatif toleran terhadap Islam menyerupai Abu Thalib.
Jika kondisi kaum Muslimin fase Makiyah segera beranjak menguat pasca hijrahnya Rasulullah ke Madinah, pada kondisi umat Islam kini ini justru ada indikasi yang semakin mengkhawatirkan. Di antaranya ialah peta geopolitik yang bergeser dari Barat ke Timur dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS yang membawa sentimen anti Islam.
Advertisement
Advertisement
Ketika antara Islam dan Barat cukup membaur dengan baik, kekerabatan keduanya lalu teruji. Setidaknya ada pada dua hal utama yaitu terorisme dan Islamofobia. Bagi Barat, terorisme membangun persepsi bahwa Islam ialah bahaya bagi mereka, yang lalu menjustifikasi penguatan Islamofobia tersebut.
Bagi dunia, sebetulnya perlu melaksanakan introspeksi lebih jernih atas terorisme dan Islamofobia tersebut. Perlu menelaah adanya indikasi pihak ketiga yang bermain di belakangnya, jadwal untuk mengadu domba dan merusak kekerabatan antara Islam dan Barat. Di antara perebutan supremasi dunia antara Timur dan Barat, sangat dimungkinkan adanya proxy dari kompetitor untuk melemahkan Barat dan Islam itu sekaligus.
Bagi Muslim, perlu melaksanakan introspeksi lebih jernih kalau terorisme itu bukan jadwal untuk mewujudkan kemuliaan Islam, tetapi ada kepentingan lain yang bermain. Bagi Barat juga perlu melaksanakan introspeksi lebih jernih kalau Muslim bukanlah bahaya bagi mereka, bahwa di balik permintaan Islamofobia tersebut, ada kepentingan lain yang ingin melemahkan Barat itu sendiri, serta mengisolasi mereka dari pergaulan dunia.
Di antara pertarungan kekuatan politik global, serta dalam kondisinya yang sangat inferior, umat Islam menghadapi tantangan yang cukup berat. Menjadi penting bagi umat ini untuk menempatkan diri secara bijak dan memainkan kiprah yang lebih baik. Kita perlu memproporsionalkan posisi kita selama ini, terhadap Abu Thalibnya umat ini dan Abu Jahalnya umat ini, terhadap Romawinya umat ini dan Persianya umat ini, serta terhadap Herakliusnya umat ini dan Kisranya umat ini. Jika salah langkah, akan menjadi kontraproduktif terhadap Islam itu sendiri. Bahkan kita dapat kehilangan Najasyinya umat ini, yang semestinya berpotensi mensupport sisi-sisi kelemahan kita.
Di antara inferioritas yang dialami umat ini, iman kita akan superioritas dinul Islam ini tetap harus menumbuhkan kesepakatan untuk menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Islam pernah mentransfer pengetahuan kepada Barat yang mengeluarkan mereka dari masa kegelapan, dan kini kembali kiprah berat menghadang umat Islam pasca terpilihnya Trump sebagai presiden AS, pada dikala Barat sedang menghadapi perluasan Timur, krisis demografi dan krisis moral
Sourche: dakwatuna.com
EmoticonEmoticon